Ayat-Ayat Al-Quran Tentang Literasi Finansial
Dalam amatan pribadi penulis, yang bisa jadi sangat subjektif, saat ini konten-konten yang berisi tentang literasi finansial sangat digemari oleh banyak pihak. Dan, masih menurut pribadi juga, banyak yang mengaksesnya oleh mereka yang berusia dibawah 40 tahun yang biasa dikategorikan sebagai generasi milenial dan generasi Z. Pembicaraan apa dan bagaimana maksud dua generasi itu sudah diperbincangkan banyak sekali, jadi saya tidak akan membicarakannya.
Tapi mengapa konten literasi finansial (inggris : financial literacy) ini begitu digemari seiring dengan naiknya ke permukaan aneka survei yang mengatakan misalnya, milenial saat ini akan sulit atau tidak terpikirkan untuk memiliki rumah, diantaranya karena mereka lebih senang mewujudkan passion atau konsumsi yang dalam jumlah tinggi, sementara kenaikan upah umumnya tidak terlalu tinggi. Laju harga kenaikan harga rumah yang jauh lebih cepat dengan gaji/upah pekerja juga ditengarai menjadi sebab bakal sulitnya generasi milenial memiliki rumah sendiri, seperti dikutip Tirto dari Dirjen Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR.
Karena saya dalam konteks tulisan ini, sama sekali bukan ahli ekoomi, maka saya tidak akan berbicara financial literacy lebih jauh termasuk teknis penjelasannya. Namun, yang saya pahami, diantara tema yang dibahas dalam literasi finansial pada intinya ada bagaimana mengelola dan mengambil keputusan yang lebih tepat dalam persoalan keuangan. Ini misalnya diulas oleh L. Klapper dan A. Lusardi dalam tulisan jurnal berjudul Financial Literacy Around the World (2015)
Dari situlah, penulis merasa ternyata dalam teks kitab suci dalam Islam, yaitu Alquran sendiri, terdapat sekian ayat-ayat tentang literasi finansial, dalam arti, punya isi yang spiritnya kini banyak dibicarakan dalam materi-materi literasi finansial. Berikut ini penulis coba beberapa contoh ayatnya, yang tentu, terbuka untuk dikoreksi, baik dari segi pemaknaannya, maupun saran ayat mana lagi yang cukup cocok digunakan digunakan sebagai inspirasi literasi finansial
ا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَن يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ فَإِن كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِن رِّجَالِكُمْ ۖ فَإِن لَّمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَن تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا ۚ وَلَا تَسْأَمُوا أَن تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰ أَجَلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَىٰ أَلَّا تَرْتَابُوا ۖ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِن تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Salah seorang mufasir kenamaan dalam sejarah Islam, Imam al-Qurthubi sampai mengatakan bahwa dalam ayat ini tercakup sekitar 30 aturan hukum teknis dalam persoalan hutang piutang. Bagi yang mengatakan kalau Alquran sebenarnya hanya berbicara persoalan yang global, sebenarnya dalam Al-Quran ada juga yang dikategorikan ayat-ayat yang berisi hal detail, diantaranya adalah persoalan hukum seperti hutang piutang dan warisan.
Dalam ayat tersebut, tercantum ayat misalnya soal pentingnya pencatatan hutang, transparansi pencatatan (tidak ada yang saling mengelabui), persoalan penghutang yang bisa dikatakan diragukan menanggung konsekuensi hukum (orang yang lemah akal atau buta huruf), bahkan tidak ada pembedaan antara hutang yang sedikit maupun hutang yang banyak. Persoalan hutang seringkali dibahas dalam materi literasi finansial sebagai sesuatu yang sangat krusial sehingga harus diperhitungkan betul-betul.
Kedua, Ayat tentang Larangan Mubadzir (al-Isra’ [17]: 26-27)
وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا – 26 – إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا – 27
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros (26) Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya (27)
Al-Quran dalam berbagai ayatnya sangat mengkritik perilaku boros, dalam arti membelanjakan tidak pada tempatnya. Bahkan, hemat penulis, di banyak tempat Islam selalu mengarahkan penggunaan harta itu jika memang berlebih, digunakan untuk menolong yang masih membutuhkan, dan ini mungkin yang dikenal sekarang sebagai aktivitas charity atau filantropi, misalnya anjuran bersedekah, membantu yang membutuhkan dimulai dari keluarga terdekat, sampai melonggarkan penagihan hutang bahkan jika ingin dianggap lunas dinilai sebagai perbuatan terpuji.
Al-Quran seringkali sumir dan bahkan menyertakan ancaman terhadap mereka yang berperilaku negatif dalam pengelolaan harta, misal yang hobi menumpuk harta (Surah al-Humazah); mubazir dianggap bagian dari “keluarga” setan (al-Isra’: 27); atau mengambil keuntungan dengan jalan yang zalim misalnya dalam persoalan riba atau mengkonsumsi harta anak yatim (Surah An-Nisa’ [4]: 1.
Ketiga, Mengelola Uang : Jangan Pelit tapi Tidak Boleh Terlalu Royal (al-Isra’ [17]: 29-30)
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَّحْسُورًا (29) إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَاءُ وَيَقْدِرُ ۚ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا – 30
Dan janganlah engkau menjadikan tanganmu terikat di lehermu (tapi) jangan pula terlalu mengulurkan tanganmu karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. Sesungguhnhya Tuhanmu melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya, dan sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hambanya.
Ayat ini juga menarik disimak, dimana Al-Quran menyindir dalam bentuk majas orang pelit dan orang terlalu royal sekaligus. Yang pertama digambarkan orang yang tangannya terikat di leher sehingga tidak pernah mengulurkan bantuan, dan yang kedua digambarkan terlalu banyak membuang-buang harta. Al-Quran selanjutnya hanya menyatakan, banyak sedikitnya rezeki (diantara sebagian kecilnya adalah harta) manusia sudah ditakar. Maka, Allah pada intinya Maha Mengetahui, apa intensi manusia. Sehingga kita dianjurkan untuk tetap menengah dalam berperilaku, termasuk dalam persoalan mengelola rezeki.
Keempat, Berhemat 7 Tahun Ala Nabi Yusuf (Surah Yusuf [12]: 42-49
Kelompok ayat ini juga menarik untuk disimak. Sebagai sebuah perbendaharaan masa lalu yang diceritakan juga dalam Al-Quran, kisah Nabi Yusuf menakwil mimpi raja tentang sapi gemuk dan sapi kurus, dijawab Nabi Yusuf dengan apa yang disebut sebagai ta’wil yang bisa dipahami, yaitu akan terjadinya krisis pangan. Namun sebelum terjadi krisis, akan dimulai dengan kesuburan terlebih dahulu, dan masanya masing-masing 7 tahun. Kisah ini – bisa disetujui atau tidak – sedikit menggambarkan soalnya adanya siklus dalam kehidupan ekonomi manusia, yang sewaktu-waktu bisa terpuruk oleh faktor yang tidak diperkirakan sebelumnya. Contohnya mungkin seperti saat pandemi seperti saat ini. Ayat ini juga memberikan kesan pentingnya perencanaan dan savings untuk menghadapi kekurangan di masa yang akan datang.
sumber : bincangsyariah.com